Senin, 01 November 2010

PROFILE RUMAH HUTAN CIDAMPIT

LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
RUMAH HUTAN CIDAMPIT








Alamat :
Bukit Cidampit Kp. Cilandak Desa Sayar Kecamatan Taktakan
Kota Serang Provinsi Banten Tlp/Fax (0254). 200414, 0817891534

Minggu, 31 Oktober 2010

SEMBELIT



Sembelit adalah merupakan suatu gejala dari berberapa penyakit. Penyakit sembelit atau susah berak disebabkan karena terhambatnya perjalanan isi perut oleh beberapa sebab, atau karena sebab dari penyakit lain, seperti; kerja hati dan kandung empedu yang tidak lancar, kejang pada usus besar, kurang makanan berampas biasanya terdapat pada buah-buahan dan sayur-syuran, dan lain sebagainya.
            Pengobatan terhadap sembelit dapat dilakukan dengan bahan tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan obat ramuan. Reseb ramuan-ramuan tersebut antara lain yaitu::

    1. DURIAN

    Cara pembuatannya:
                Dapatkan kulit buah durian sebesar 2 telapak tangan, di giling atau di tumbuk sampai halus. Setelah halus beri sedikit air bersih dan di aduk.

    Cara pemakaiannya:
                Di tapalkan pada perut, setiap harinya 2 kali. Lakukan sesuai kebutuhan.

    2. PEPAYA

    Cara pembuatanya:

          Ambil satu buah pepaya yang benar-benar telah masak, dikupas dan dicuci bersih lalu diris panjang-panjang atau di potong kecil-kecil.

    Cara pemakaiannya:

          Dijadikan makanan tambahan setelah makan nasi, setiap harinya 2 kali.



                                                             3. A. BENGLE                                      
                                              B. LEMPUYANG
                                              C. JAHE
                                              D. CEKUR

    Cara pembuatannya:

                Ambil bengle 1 jari tangan, lempuyang juga 1 jari tangan, jahe ½ jari tangan dan cekur 1 jari tangan pula. Di cuci bersih dan di tumbuk atau di giling sampai halus, di beri air panas ½ gelas makan, di peras dan di saring.

    Cara pemakaiannya:
                            Di minum setiap harinya 2 kali.


    (Diambil dari buku Ramuan Ampuh  Jamu Pusaka Tradisional Manudar; di susun oleh  Somad Robith Penerbit Pustaka Tinta Mas Surabaya tahun 1995)

    HIKAYAT TANJUNG LESUNG




                Syahdan, pada zaman dahulu kala ada seorang  pengembara dari Laut Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari  setelah lelah bermain di tepi pantai, Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang laut. Angin semilir sejuk membuat Raden Budog  terlena. Perlahan matanya terpejam, dalam tidurnya Raden Budog bermimpi mengembara  ke utara dan bertemu dengan seorang gadis yang sanga cantik. Hati Raden Budog terpesona oleh kecantikannya. Tanpa disadarinya, kakinya melangkah mendekati gadis itu yang tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya  tangan gadis itu yang tersenyum  manis keadanya, dilihatnya tangan gadis itu diulurkan  kepadanya. Raden Budog pun mengulurkan tangannya hendak menyambut uluran tangan gadis itu. Tapi betapa terkejutnya dia... seranting kering pohon ketapang mengenai dahinya. Raden Budog  terperanjat dan terbangun dari tidurnya, dengan perasaan kesal diraihnya  ranting itu  dan dibantingnya keras-keras. ” Ranting keparat” gerutunya. ”Kalau  ranting itu  tidak jatuh maka aku bisa menikmati mimpi indahku”.
                Berhari-hari bayangan mimpi itu tidak pernah bisa hilang dari ingatan Raden Budog. Lalu diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden Budog pun segera  menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya.” Cek...cek...cek..., ketika akan  mengembara, sayang,”  kata Raden Budog mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira seolah mengerti  ajakan tuannya.
                Raden Budog lalu menghampiri  kuda kesayanganna. ” Kita akan mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah.” Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan kuda kesayangannya, berjalan ke arah utara. Di pinggangnya terselip golok panjang yang membuatnya tampak gagah dan perkasa. Sedangkan tas anyaman dari kulit terep berisi persediaan makanan, terselempang di bahunya. Sementara itu anjing kesayangannya berjalan di depan, mengendus-endus  mencari jalan bagi tuannya. Anjing itu kadang menggonggong menghalau bahaya yang mengancam tuannya.
                Lima hari perjalanan telah di tempuhnya. Walaupun bagirtu Raden Budog belum juga mau  turundari kudanya. Dia juga tidak menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong, begitu pula kudanya. Pikirannya  Cuma terbayang-bayang   pada mimpinya di tepi pantai itu.” Kapan dan di mana aku bisa bertemu gadis itu ? ” gumamnya dalam hati.
                Raden Budog terus memacu kudanya menapaki jalan-jalan  terjal  dan mendaki hingga tiba di Gunung Walang yang sekarang ini menjadi kampung Cimahpa,  kudanya roboh. Raden Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun  Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun karena sudah sama-sama lemah, Raden Budog dan kudanya berguling-guling di lereng gunung. Anjing kesayangannya menggonggong cemas meningkahi  ringkikik kuda. Raden Budog segera bangun, sekujur badannya terasa lemah dan nyeri.
                Sejenak raden Budog istirahat di Gunung Walang. Dia memuka bekalnya dan makan dengan lahap. Sementara itu kudanya mencari rumput segar sedangkan anjingnya berlarian kian kemari memburu mangsanya, seekor burung gemak yang berjalan di semak-semak.
                ” Ayo kita berangkat lagi !” Raden Budog berteriak  memanggil kuda dan anjingnya. Namun dilihatnya pelana kuda itu ternyata telah robek. Dengan terpaksa Raden Budog menanggalkan  pelana itu dan memutuskan untuk meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki karena dia tidak bisa menunggang kuda tanpa pelana . Mereka  terus melangkah hingga tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali Alas namanya yang sekarang disebut pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat melihat laut yang biru membentang dengan pantainya yang indah.
                Raden Budog kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai Cawar. Begitu sampai di pantai yang indah itu Raden Budog segera berlari dan terjun ke laut, berenang renang gembira. Perjalanan  yang melelahkan itu seolah lenyap oleh segarnya air pantai Cawar. Di muara sungai Raden Budog membilas tubuhnya, lalu dicarinya kuda dan anjing kesayangannya untuk meneruskan pengembaraan.
                ” Ayo kita berangkat lagi !” seru raden Budog ketika diam saja seolah tak peduli ajakan tuannya. Raden Budog merasa heran. ” Cepat berdiri ! Ayo kita berangkat !” seru Raden Budog lagi. Tapi kedua binatang itu tetap duduk saja, tak bergerak sedikitpun. Anjing dan kuda itu tetap tampak sangat kelelahan setelah  menempuh  perjalanan  panjang , sehingga sekedar untuk berdiri pun tak sanggup lagi.
                ” Aku harus segera menemukan gadis pujaanku. Kalau kalian tidak mau menuruti  perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini!” teriak Raden Budog sambil meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing dan kuda kesayangannya. Namun kedua binatang itu tetap tidak bergeming dan menjelma menjadi karang. Sampai sekarang di pantai Cawar terdapat karang  yang menyerupai kuda dan anjing sehingga disebut Karang Kuda dan Karang Anjing.
                Maka Raden Budog melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Dalam benaknya telah ada kesayangan lain yang  ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan yang muncul dalam mimpinya itu benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya pun tertinggal di Batu Cawar. Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit tetep beserta batu asah di dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog kembali merasakan kelelahan. Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi  Raden Budog melangkah dengan sisa tenaganya.
                ” Benda ini rasanya sudah tak berguna, hanya memberati pundaku saja. Lebih baik kutinggalkan saja di sisi,”gumam Raden Budog. Diambilnya batu asah itu dari dalam tasnya dan diletakkannya di tepi jalan. ”Biarlah batu ini menjadi kenangan,” gumamnya lagi. Demikianlah, sampai saat ini di Legon Waru  terdapat sebuah karang yang dikenal denan Karang Pengasahan.
                Berhari-hari   Raden Budog terus mengembara menyusuri pesisir pantai. Wajah gadis yang menghiasi  mimpinya memenuhi pikirannya sepanjang perjalanan, menyalakan semangat dalam dadanya. Rasa bosan, lelah dan letih dan dihiraukannya. Juga pakaiannya yang mulai lusuh dan badannya yang berdebu. Suatu ketika, hujan turun dengan derasnya. Raden Budog berlindung di bawah pohion. Dari balik pasir, tiba-tiba berhamburanlah penyu-enyu besar dan kecil menuju laut. Penu-penyu it seakan  gembira menyambut hujan . Tempat itu kini dikenal dengan nama Cipenyu. Sesat kemudian  Rtaden Budog melanjutkan perjalanannya setelah mengambil daun pohon lengkap yang dijadikannya sebagai  payug agar tidak kehujanan.
                Namun hujan terus melebat, tidak ada pertanda akan reda. Mendung tampak semakin menghitam dan bergerak dari selatan menuju utara.”Mudah-mudahan ada gua disekitar sini. Aku harus berlindung dan beristirahat sejenak,” gumam Raden Buldog. Dana betapa gembiranya. Raden Buldog  ketika dilihatnya sebuah bukit karang yang menjorok. Raden Budog pun  mempercepat  langkah dfan masuk ke dalam gua. Ditutupnya pintu  gua dengan daun langkap sehingga gua itu pun menjadi gelap gulita.
                Beberapa saat Raden Budog beristirahat melepas lelah sambil menunggu hujan reda. Tapi raden Budog merasa tidak nyaman berada dalam gua yang  gelap gulita itu. Dibukanya  daun langkap  yang menutupi pintu gua. Seberkas sinar menerobos masuk. Ternyata hujan telah reda. Raden Budog pun keluar dan ditutunya kembali  mulut gua itu dengan daun langkap. Sampai saat ini pintu gua itu tetap tertutup daun lengkap yang membantu dan dikenal dengan nama  Karang Meumpeuk
                Tidak jauh dari Karang Meungpeuk, tibalah  Raden Budog pada sebuah muara sungai yang airnya sangat deras. Hujan  yang baru saja turun memang sangat lebat, sehingga tidak  mengherankan  jika sungai-sungai menjadi banjir. Raden Budog terpaksa menghentikan perjalanannya dan duduk di atas batu memandangi air sungai  yang meluap. Sayup-sayup terdengar bunyi lesung dari seberang  sungai. Hati Raden Budog berdebar dipenuhi rasa sukacita. Dia merasa yakin, diseberang sungai terdapat kampung tempat tinggal gadis pujaannya yang selama ini di cari. ” Dasar kali banjir!”  gerutu Raden Budog  tak sabar menunggu banjir surut. Tempat in sampai sekarang terkenal dengan Kali Caah  yang berarti kali banjir.
                Karena sudah tidak dapat menahan sabar, akhirnya  Raden Budog menyebrangi  sungai itu walaupun dengan susah payah dan  harus mengerahkan seluruh tenaganya. Di pintu masuk kampung. Raden Budog beristirahat, mengitarkan pandang ke arah kampung, hatinya mulai merasa tenang karena merasa akan segera bertemu dengan gadis yang dimimpikannya.
                Di kampung itu tinggallah seorang janda bernama Nyi Siti yang memiliki seorang anak gadis  yang sangat cantik, Sri Poh Haci namanya. Setiap hari Sri Poh Haci membantu ibunya menumbuk padi menggunakan lesung yang dipukul-pukulnya itu menimbulkan suara yang sangat merdu dan indah. Oleh sebab itu, setiap kali selesai menumbuk padi, Sri Poh Haci tidak segera berhenti, tapi terus memukul- mukul  lesung itu sehingga terangkailah nada yang merdu dan enak di dengar. Dimulai dari sinilah akhirnya banyak gadis kampung yang berdatangan ke rumah Nyi Sri untuk ikut memukul lesung bersama Sri Poh Haci.
                Kebiasaan memukul lesung akhirnya menjadi tradisi kampung itu. Sri Poh Haci merasa gembira dapat menghimpun gadis-gadis kampung  bermain lesung. Permainan ini oleh Sri Poh Haci diberi nama Ngagondong, yang kemudian dijadikan acara rutin setiap akan menana, padi maupun saat panen. Bahkan juga pada waktu hajatan atau akan menyimpan padi. Tapi pada setiap  hari jum’at dilarang membunyikan lasung, karena hari jum’at adalah hari yang keramat bagi kampung itu.
                Raden Budog yang sedang beristirahat di pintu masuk kampung kembali mendengar bunyi lesung yang mengalun ke arah sumber bunyi-bunyian itu. Bunyi lesung terdengar semakin keras. Di dekat sebuah rumah, dilihatnya gadis-gadis kampung sedang bermain lesung. Tangan mereka begitu lincah dan trampil  mengayunkan alu ke lesung, membentuk  nada-nada  mempesona, tapi yang lebih mempesonakan Raden Budog adalah seorang gadis semampai yang cantik jelita, gadis itu  mengayunkan tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya gadis itu  adalah  pemimpin dari kelompok  gadis-gadis yang sedang bermain lesung itu.
                Merasa ada yang memperhatikan, gadis itu, Sri Poh Haci, memberikan isyarat kepada gadis-gadis lainnya untuk menghentikan permainan. Gadis-gadis  itupun  bergegas pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula Sri Poh Haci. Di dalam rumah, ibunya bertanya kepada Sri Poh Haci, mengapa permainannya hanya sebentar. Sri Poh Haci lalu menceritakan  bahwa di luar ada seorang lelaki tampan yang belum pernah dilihatnya. ”Laki-laki itu memperhatikanku terus. Aku jadi malu, Bu....,” kata sri Poh Haci.
                Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan pintu.
                ” Sampurasuun”.
                ”Rampes, ” Jawab Nyi Sri Siti sraya berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Dilihatnya seorang pemuda yang gagah lagi tampan berdiri di depan pintu.
                Belum sempat Nyi Siti berbicara, pemuda itu sudah mendahului membuka suara. ”Maaf mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ini ?”
                Nyi Siti tentu saja kaget mendengar permintaan dari orang yang tak dikenalnya. ”Kisanak ini siapa ? dari mana asalnya ?, mengapa pula hendak menginap di sini ? Saya belum kenal dengan Kisanak,” kata Nyi Siti.
                Oh, ya maaf, saya  belum  memperkenalkan  diri. Nama saya raden Budog. Saya seorang pengembara, saya tak punya tempat tinggal. Kebetulan saya sampai di kampung ini, dan kalau diperbolehkan saya ingin menginap di sini,” jelas Raden Budog.
                ”Maaf, Kisanak. Saya seorang janda dan tinggal dengan anak peempuan saya satu-satunya. Saya tidak berani  menerima tamu laki-laki, apalagi sampai menginap, ” jawab Nyi Siti dengan tegas dan segera menutup pintu.
                Hari sudah mulai gelap. Rasen Budog yang merasa  kesal oleh kejadian yang baru saja dialaminya berjalan menju bale-bale bambu di dekat rumah Nyi Siti.  Dia  pun bermimpi  diijinkan  menginap di rumah itu . Bukan oleh Nyi Siti  yang menyebalkan itu, tapi oleh seorang gadis cantik yang dia temui dalam mimpinya di pantai selatan, gadis yang tadi dilihatnya sedang bermain gondang. Ah betapa senagnya hati Raden  Budog.
                Namun begitu cepat waktu berlalu. Matahari mulai muncul  di ufuk timur. Raden Budog terbangun, mengusap-usap matanya  yang masih mengantuk. Hidungnya mencium  wangi kopi yang menyegarkan. Kemudian dilihatnuya seorang gadis  cantik yang menyuguhkan  segelas kopi di sampingnya.
                ” Minum dulu kopinya, Raden.” kata gadis itu. ” Kamu siapa ? Dari mana kamu tahu namaku ?  tanya Raden Budog, walau sesungguhnya dia tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti.
                ”Namaku  Sri Poh Haci, anak Nyi Siti.”
                Hari berganti hari, kedua insan itu pun jatuh cinta. Nyi Siti sebenarnya tidak setuju bila anaknya dipinang oleh orang yang tidak diketahui asal usulnya, apalagi orang itu kelihatannya keras kepala. Tapi Nyi Siti juga tidak ingin mengecewakan hati Sri Poh Haci, anaknya yang semata wayang itu. Akhirnya Raden Buldog  menikah dengan Sri Poh Haci . Kesenangan Sri Poh Haci menabuh   lesung tetap dilanjutkan  bersama gadis-gadis kampung, bahkan Raden Buldog  sendiri menjadi sangat mencintai  bunyi lesung dan  turut memainkannya. Hingga suatu ketika, terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan sama sekali oleh penduduk kampung itu, karena sangat senangnya terhadap bunyi lesung, Raden Budog yang keras kepala itu setiap hari tidak mau berhenti menabuh lesung.
                Hari itu hari jum’at, Raden Budog kembali hendak menabuh lesung.Para tetua kampung memperingatkan  dan melarang Raden Buldog, tapi Raden Buldog tidak perduli dan tetap  manabuh lesung. Dengan    hati girang dan besemangat, Raden Budog erus menabuh lesung seraya melompat lompat kian kemari ” Lihat..lihat !  Ada lutung memukul lesung ! Ada ltung memukul lesung !” Penduduk kampung berteriak-teriak melihat seekor lutung sedang memukul-mukul lesung.
                Raden Budog terperanjat mendengar teriakan-teriakan itu.Dia melihat ke sekujur tubuhnya. Betapa  kagetnya dia setelah melihat tangannya  penuh  bulu. Begitu pula kakinya. Dirabanya mukanya yang juga telah ditumbuhi bulu. Raden Budog pun lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir kampung itu. Raden Budog menjadi lutung. Penduduk kampung itu menamainya Lutung Kasarung.
                Sri Poh Haci sangat malu mendengar kejadian itu. Diam-diam  dia pergi meninggalkan kampung. Konon Sri Poh Haci  menjelma menjadi Dewi Padi. Demikianlah ceritanya, kampung itu pun terkenal dengan sebutan Kampung Lesung dan karena letaknya di sebuah tanjung, orang-orang  kemudian  menyebutnya  Tanjung Lesung.  (Ditulis Oleh : Suharyanto) diambil dari  buku Cerita Rakyat Banten yang diterbitkan oleh : Dinas Pendidikan Provinsi Banten.
      

    DEBUS



                Kata Debus, mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita, karena seni budaya debus sudah ada sejak jaman dulu, ketika jaman kesultanan Banten, dan kesenian ini sering di tampilkan ketika ada acara-acara  seperti acara perkawinan/hajatan, dan pertunjukan-pertunjukan lainnya biasanya  kalau ada tamu dari luar Banten.
                Beberapa antraksi permainan Debus yang biasa ditampilkan adalah seperti ; membacok tangan, menggorok leher,  menggorek kerupuk di kepala, menggunakan al-Madad, yaitu paku besar yang ditusukan ke perut, menusuk lidah dengan jarum dan lain-lain.
                Permainan Debus ini pernah dipermasalahkan oleh kalangan ulama  di Banten, dan  pernah di fatwakan haram, namun polemik ini tidak berlangsung lama karena ada beberapa permainan yang dibolehkan,  yang diharamkan adalah permainan yang mengandung unsur syirik, yiatu yang mengundang unsr-unsur halus, terlepas dari beberapa  polemik yang terjadi, Debus adalah sebuah permainan yang diciptakan dari akar budaya  bangsa yang kelestarian dan kelangsungannya perlu di pertahankan sebagai asset bangsa.
                Dunia persilatan di Banten  memang tidak asing lagi, hampir di tiap-tiap perkampungan ada perguruan silat dari berbagai aliran, seperti aliran Cimande yang terkenal dengan  TTKKDH, Perguruan silat atau sering disebut peguron seiring dengan perkembangannya, ia berkembang terus menyesuaikan  dengan jaman, hal ini memang karena persilatan terus di pelihara terutama di sekolah-sekolah, perkantoran dan lain-lain, sehingga kebudayaan ini tidak tergerus oleh jaman, seperti persilatan yang tumbuh dan terus berkembang di Banten, diantaranya adalah : Persilatan Terumbu, Macan Guling, Budi Suci, Paku Banten dan lain-lain. Dan dari beberapa organisasi kemayarakatan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama juga mempunyai perguruan silat tersendiri yaitu kalau di Muhammadiyah di kenal dengan perguruan Tapak Suci dan di Nahdhatul Ulama terkenal dengan perguruan silat Pagar Nusa.     
                Kreatifitas permainan debus sekarang sudah tidak lagi monoton dalam antraksinya, yakni sudah di kaloborasi dengan berbagai tarian seperti tarian rampak beduk diselipkan beberapa antraksi debus seperti memadam api dengan mulut, al-Madad, menusukan jarum besar ke kulit atau ke lidah  dan lain-lain.

    PENDAHULUAN


    Kepulaun Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke merupakan asset pembangunan yang sangat potensial, kekayaan bangsa Indonesia sangat luar biasa kaya, segala potensi yang dimiliki bangsa Indonesia sangat cukup banyak, baik daratan maupun lautan, namun dalam pengelolannya sangat minim, sehingga banyak  kekayaan bangsa  yang begitu besar,  namun  tidak mampu untuk mempekerjakan rakyatnya, hal ini bisa dilihat dari angkatan kerja yang tiap tahun meningkat, dan kecendrungan rakyat Indonesia untuk kerja keluar negeri sangat banyak untuk  menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), ini karena lahan pekerjaan di dalam negeri masih dirasakan minim dan kurang, sehingga tidak mampu menampung angkatan kerja yang tiap tahun meningkat sementara perkembangan perusahaan-perusahaan yang ada  tidak mampu mengimbangi angkatan kerja yang begitu banyak.

    Pengangguran bukan persoalan kecil, karena banyaknya pengangguran akan mengakibatkan pada angka kriminalalitas  yang tinggi, dan akan terjadi ketidakstabilan pada faktor keamanan dan kenyamanan kehidupan masyarakat, dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Bangsa Indonesia sebagai Negara agraris yang  berbasis pada pertanian, mestinya diperkuat kembali agar jati diri bangsa terangkat kembali, potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Indonesia harus terus digali dan dikerahkan untuk membangun bangsa melalui pertanian, sehingga jangan sampai terjadi bahwa Negara agraris tapi hasil pertanian masih di impor dari luar.

    Industri yang telah dibangun harus terus dipertahankan dan dikembangkan sebagai asset pembangunan, namun industri pertanian jangan sampai ditinggalkan, karena lahan yang luas merupakan asset untuk menampung tenaga kerja produktif. Beragam jenis pertanian  pada jaman Belanda, bangsa Belanda banyak mengambil hasil pertanian dari Indonesia dan bisa di lihat sampai sekarang hasil peninggalan Belanda seperti Perkebunan teh yang ada di Puncak- Bogor,  sekarang menjadi perkebunan Nusantara. Banyaknya perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar, merupakan sarana untuk menampung tenaga kerja, disamping itu pula sangat di pandang perlu untuk memberikan keahlian kepada para  petani muda agar lebih memahami ilmu-ilmu pertanian.

    Generasi muda yang ada di pedesaan sekarang sudah tidak gairah lagi untuk menjadi seorang petani, karena yang ada dalam benak generasi muda sekarang adalah manjadi seorang petani merupakan profesi yang tidak menguntungkan, petani kehidupannya miskin dan  kotor, yang  padahal apa yang dimakan oleh kita 90 % dari hasil pertanian, sebenarnya profesi petani merupakan profesi yang amat mulia dan agung, karena petani mampu memberikan asupan makanan  bagi manusia.

    Rumah Hutan Cidampit menawarkan sebuah konsep pertanian yang sangat sederhana dan pernah dilakukan oleh  para  nenek moyang kita, yaitu bertani untuk makan sendiri, dan kalau ada lebih boleh di jual, hal ini masih dilakukan oleh orang-orang baduy,  suku pedalaman di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Petani yang sederhana hidup tidak berlebihan namun berkecukupan pangan merupakan petani yang bahagia, ia masih melihat padi dalam lumbung yang tidak habis-habis dan ternak yang berkeliaran di kebun, tanaman pisang yang selalu berbuah tanpa musim, pohon durian yang menjulang tinggi yang setiap tahun memberikan rejeki, begitu  juga dengan tanaman-tanaman lain, sehingga rasa bahagia dan ketenangan dalam jiwa para petani.
                                                                                                     
    Bangsa yang mandiri adalah karena rakyatnya mandiri, tidak mungkin kita mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang mandiri namun rakyatnya kelaparan, kekurangan gizi dan mencari pekerjaan keluar negeri, impor beras dari luar Negeri, kalau ini masih terjadi bangsa ini jauh dari nilai-nilai kemandirian.